• Oktober 17, 2022

Mengenal Gebug Ende, Budaya Permohonan Hujan Dari Karangasem Bali

Bali merupakan sebuah provinsi di Indonesia yang memiliki ribuan kebudayaan menarik untuk dipelajari. Mungkin Anda sudah familiar dengan upacara Ngaben, tradisi omed-omdean, sampai ogoh-ogoh. Namun tahukah kamu ada budaya unik lain dari Bali yang tidak kalah menarik, taitu Gebug Ende.

Tradisi Gebug Ende merupakan budaya yang sudah lama berkembang di Desa Seraya, Kabupaten Karangasem. Ini merupakan budaya di mana masyarakat memohon untuk hujan kepada sang pencipta. Tradisi dari masyarakat Desa Seraya ini sudah dilakukan secara turun temurun dan masih dilakukan hingga saat ini.

Adanya nilai sakral yang melekat erat pada tradisi ini membuat gebug ende jarang untuk dipertunjukkan secara umum, sebab itu tak banyak masyarakat luas yang mengetahui mengenai tradisi keramat satu ini.

Tradisi gebug ende sendiri adalah permainan rakyat yang dahulunya merupakan permainan tradisi yang hanya dapat dilakukan oleh kaum laki-laki, dapat orang dewasa atau anak-anak. Sesuai dengan namanya, di dalam permainan ini mereka akan membawa ende dan saling menggebug atau memukul satu sama lain. Gebug sendiri memiliki arti memukul dan alat yang digunakan adalah rotan dengan panjang sekitar 1,5 sampai 2 meter. Ende sendiri merupakan alat yang biasa digunakan untuk menangkis dan terbuat dari kulit sapi yang dikeringkan dan dianyam dengan bentuk lingkaran.

Pada umumnya, ini merupakan ritual yang dilaksanakan di musim kemarau dan dilakukan setelah masyarakat pulang dari ladang di siang atau sore hari menjelang musim tanam berlangsung. Untuk waktu pelaksanaannya dilakukan pada perhitungan bulan Bali, yaitu di bulan Oktober sampai November. Permainan ini sangat erat dengan ketangkasan dan kemahiran dalam memainkan rotan. Kekuatan fisik pun juga menjadi tolak ukur.

Terdapat teknik yang dibutuhkan di dalam permainan ini, yaitu keahlian dalam memukul dan menangkis. Sebelum melakukan permainan, masyarakat akan melakukan sembahyang dalam memohon keselamatan bagi para pemain, kelancaran jalannya permainan, dan juga memberikan kemakmuran dalam mendapatkan hujan bagi masyarakat

Gebug ende sendiri dapat dimainkan dimana saja, menyesuaikan dengan kondisi dan tidak ada ketentuan dari luas wilayah permainan. Pada umumnya masyarakat akan melakukan tradisi satu ini di halaman pura dengan permukaan yang datar.

Lapangan yang dijadikan area tersebut akan dibatasi dengan tali atau pagar, sehingga mereka yang sedang melakukan gebug ende akan terhindar dari desakan penonton.

Permainan ini akan dibuka dengan ucapan selamat datang ke penonton dan juga pemain, lalu di dalamnya akan diberikan nasihat hingga aturan dari permainan. Pemain akan selalu diminta untuk mengedepankan kejujuran dan sportifitas.

Di dalam permainan ini pun terdapat wasit yang biasa disebut dengan juru kembar/ saya (baca:saye) yang akan berlaku sebagai pemimpin di dalam permainan. Tugas dari wasit ini tentunya adalah untuk mengawasi jalannya permainan.

Meski menggunakan senjata yang terlihat cukup berbahaya, namun aturan permainan ini membuat para pemain dapat aman ketika tradisi berlangsung. Biasanya permainan akan dimulai dengan kelompok anak-anak, lalu dilanjutkan dengan kelompok dewasa. Selain itu pemain pun tampil dengan penuh rasa semangat serta tidak ada rasa ketakutan.

Akan ada iringan musik yang menambah rasa tegang di dalam permainan dan juga menyemangati pemain.

Saat ini sendiri gebug ende sudah sering ditampilkan secara komersial, tetapi tetap tidak ada rekayasa di dalam permainan tersebut. Karena jika sampai ada rekayasa, ini diyakini bisa memberikan malapetaka bagi mereka. Bagi masyarakat Desa Seraya, ini adalah tradisi yang sudah diwariskan secara turun-temurun.